Title : My Wine
Author :
RitsuKim
Cast : Cho Kyuhyun as Marcus Lubov
Irina Wilson (OC, western name from Kim
Hyunji)
Lee Donghae as Aiden
Rate : PG17
Length :
Oneshoot
Wine ini memabukkan.
Begitu juga kau.
Manchester City, 1845
“kau
tahu wanita yang ada disana?” Aiden mengarahkan pandanganku pada seorang wanita
yang memakai gaun putih sederhana. Ia memakai hiasan bunga di rambutnya yang
hitam lurus. Dapat kulihat dari gayanya dan cara duduknya, sepertinya ia
seorang bangsawan.
“tidak.
Kenapa?” aku menggelengkan kepalaku seraya menjawab pertanyaan Aiden.
“jangan
tertipu dengan tampilan luarnya. Kau pasti mengira ia adalah seorang wanita
terhormat dari kalangan bangsawan.” Aiden tersenyum kecut.
“kenapa
memangnya? Dia bukan putri keluarga bangsawan?” aku bertanya heran kepada Aiden.
“tampilan
luarnya memang begitu. Dia memang seorang wanita yang cerdas, ia juga memiliki ladang
peternakan yang luas. Tapi kau tahu ia mendapatkan semua kekayaan itu darimana?”
lagi-lagi aku menggelengkan kepala tidak tahu.
“dia
membayar semua itu dengan tubuhnya.”
“apa?”
aku terpekik kaget dengan apa yang baru saja Aiden katakan.
“kalau
kau mau, coba saja dekati dia. Aku jamin, kau pasti akan puas.” Aiden
menyunggingkan smirknya dan dia pergi begitu saja. Kulihat ia menyapa beberapa
orang.
Aku
penasaran tentu saja. Tanpa sadar aku jadi terus memperhatikan wanita tersebut.
Sepertinya ia sadar ada yang terus memperhatikannya. Ia menoleh kearahku. Menatapku
sesaat kemudian tersenyum. Senyum yang sangat manis.
Detik
berikutnya aku sudah berjalan menuju tempat wanita tersebut duduk. Kini dia
duduk sendirian. Orang yang tadi bersamanya telah pergi. Sesampainya di dekat
wanita tersebut,
“bolehkah
aku sedikit berbincang dengan anda, nona?” aku memberikan senyuman terbaikku
padanya. Dan ia balas tersenyum. Lagi-lagi dengan senyum manisnya yang tadi.
“silahkan
duduk,”
Setelah
di persilahkan, aku duduk di kursi yang kosong di meja yang ditempati wanita
tersebut.
“boleh
aku mengetahui nama dari wanita cantik di hadapanku ini?” selama berbicara aku
tidak pernah melepaskan senyum dari wajahku.
“Irina.
Namaku Irina Wilson.” Wanita yang ternyata bernama Irina itu menjawab sembari
mengangguk sopan padaku.
“dan
namaku Marcus Lubov.” Ucapku sambil mengulurkan tanganku padanya, sebagai tanda
perkenalan. Ia menjabat tanganku, tangannya sangat lembut.
“senang
berkenalan denganmu nona Irina Wilson,” ucapku saat masih menjabat tangannya.
“senang
berkenalan dengan anda juga tuan Marcus Lubov.’
“aku
baru kali ini melihat wanita secantik anda, kalau boleh tahu dimana nona
tinggal?” tanyaku membuka obrolan.
Ia
menjawab dimana tempat tinggalnya. Perkenalan kami terus berlanjut dengan
obrolan-obrolan ringan, seperti apa saja hobbynya dan lain sebagainya. Ia begitu
sopan dalam berbicara, sungguh tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia seperti
apa yang Aiden ceritakan.
Dan
obrolan pun berlanjut sampai kepada aku yang mencoba mengajaknya pergi menonton
bersama di akhir pekan. Jujur, aku tertarik padanya.
“boleh
saja,” ia menjawab dengan pasti.
“terimakasih.
Boleh kutulis alamat lengkap rumahmu? Supaya aku bisa langsung menjemputmu
nanti,” aku mengeluarkan buku notes dari saku jasku bersama dengan bolpoinnya. Aku
menyerahkan buku dan bolpoinnya kepada Irina karena ia meminta biar ia saja
yang mencatat.
Selesai
mencatat, ia menyerahkan kembali buku dan bolpoinnya kepadaku. Aku melihat
tulisan tangannya di buku notesku. Tulisan tangan yang rapi.
“baiklah
kalau begitu. Kereta kudaku akan berada di depan rumahmu tepat pukul 7 malam
akhir pekan depan,” ucapku bersemangat.
Irina
hanya tersenyum hangat padaku.
***
Sekali kau mencobanya,
Kau tidak akan tahu kapan bisa
berhenti.
3
hari setelah pertemuanku dengan Irina, aku membuka buku notes kecil yang selalu
aku bawa kemana saja. Alasanku selalu membawa buku notes adalah tidak lain
karena pekerjaanku sebagai kepala polisi di kota Manchester ini. Aku mencatat
hal-hal penting di buku notes tersebut. Ketika aku membukanya untuk mencari
alamat rumah tempat tinggal Aiden di London, aku melihat tulisan tersebut. Aku tidak
ingat ada catatan di lembaran itu. Aku membalik lembaran tersebut, di baliknya
ada alamat rumah tempat tinggal Irina. Kulihat tulisannya sama, ini tulisan
Irina.
“aku
mempunyai ide lain, bagaimana kalau aku menghidangkan makanan di rumahku dan
kita makan malam bersama?”
Dia
mengajakku makan malam bersama di rumahnya? Hanya berdua?
***
Akhir
pekan akhirnya tiba. Aku merapikan setelan jas yang aku pakai setibanya di
depan rumah Irina. Tak lupa aku membawa setangkai bunga mawar di balik
punggungku ketika aku mengetuk pintu rumahnya.
Tanpa
menunggu lama, Irina sendiri yang membukakan pintu untukku. Dia tersenyum
lembut padaku. kulihat malam ini ia mengenakan gaun berwarna krem yang
menurutku ia sangat pas memakai gaun tersebut.
“aku
sudah membacanya, dan aku setuju untuk mengikuti idemu,” Irina tersenyum lagi
dan membukakan pintunya lebar-lebar, mempersilakan aku masuk ke rumahnya.
“silahkan
masuk,”
Setelah
aku masuk, Irina menutup pintunya kembali. Dia hendak berjalan masuk lebih
dalam ke rumahnya ketika aku memanggil namanya. Ia menoleh kepadaku.
‘ada
apa Marcus?”
“untukmu,”
ucapku seraya menyerahkan bunga mawar merah yang sedari tadi kusembunyikan di
balik punggungku. Ia tersenyum manis dan meraih bunga mawarnya dariku.
“terima
kasih. Aku menyukai bunga mawar merah. Ayo masuk,” Irina kembali mengajakku
masuk lebih ke dalam rumahnya. Aku pun akhirnya mengikutinya. Ia ternyata
langsung membawaku menuju ruang tempat makan. Di meja makan sudah terhidang
berbagai macam makanan. Ia mempersilakanku duduk.
‘koki
disini menghidangkan berbagai macam menu. Aku belum tahu apa makanan
kesukaanmu,” ia juga duduk di kursinya yang letaknya berhadapan denganku.
‘maaf
sudah merepotkanmu,”
“tidak,
tidak, ini sama sekali tidak merepotkanku. Sudah lama aku tidak kedatangan
teman di rumahku, jadi aku sangat senang ketika kau menyetujui ideku,” ia
memang terlihat senang ketika aku mengatakan aku memilih menyetujui idenya.
“kau
tinggal sendirian di rumah sebesar ini?” tanyaku karena sedari tadi aku tidak
melihat ada orang lain di rumah ini selain aku dan Irina.
‘tentu
saja tidak. Ada bibi yang menemaniku disini dan membantuku mengurus rumah ini. Juga
beberapa koki, kelihatannya mereka sedang ada urusan dulu di luar,” aku
mengangguk mengerti.
“silakan
dimakan hidangannya,” dan Irina mempersilakanku untuk mulai memakan makan
malamku.
“ah,
ya,” aku tersenyum dulu dan akhirnya kami berdua menikmati makan malam bersama.
Hidangan yang disediakannya ternyata nikmat. Sesudah makan, kami pindah duduk
di kursi di teras samping rumahnya yang langsung menghadap ke sebuah padang
rumput yang indah diterangi cahaya bulan.
Kami
mengobrol cukup banyak hal disana. Aku menceritakan tentang keluargaku, ayahku
yang dulu juga adalah kepala polisi dan keseharianku sebagai kepala polisi di
Manchester City.
Ia
juga menceritakan tentang kehidupannya. Keluarganya yang meninggalkannya untuk
selamanya sedari ia kecil sehingga ia harus tinggal di panti asuhan sampai
akhirnya ada seorang wanita bangsawan yang mau membiayai kehidupannya, dengan
syarat ia harus mau menikah dengan putranya yang sudah sekarat karena penyakit
kanker.
Irina
ingin memperbaiki kehidupannya sehingga ia bersedia menikah. Namun umur pria
yang ia nikahi hanya tinggal 2 bulan semenjak ia menikah. 2 bulan kemudian
Irina sudah menjadi seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya.
Wanita
yang merupakan ibu dari sang pria pun meninggal 4 bulan kemudian. Ia tidak siap
ditinggal oleh putra semata wayangnya. Semenjak ditinggalkan oleh anaknya ia
terus menerus mengurung diri sampai akhirnya di suatu pagi ia ditemukan
meninggal di kamarnya. Wanita yang merupakan mertua dari Irina tersebut bunuh
diri dengan meminum berbagai jenis obat sampai akhirnya ia meninggal karena
overdosis.
Sepeninggal
mertua dan suaminya, Irina berjuang keras sendirian. Ia menggunakan harta
kekayaan yang ditinggalkan mertua dan suaminya untuk biaya pendidikannya sampai
akhirnya Irina mampu dan berhasil mengelola semuanya sendiri. Walaupun cukup
susah karena kedudukannya sebagai seorang wanita yang kadang di anggap sebelah
mata.
Seketika
terbayang olehku betapa sulit ia menjalani sebuah kehidupan. Apalagi bagi
seorang wanita di kota Manchester ini. Aku benar-benar kagum padanya.
Selesai
ia bercerita, kulihat Irina tengah memandang ke padang rumput dihadapannya. Siluet
yang kulihat sungguh sangat indah. Kecantikannya yang diterangi sinar rembulan,
membawaku tanpa sadar mengusap pipinya.
Irina
menangkap tanganku yang tengah mengusap pipinya. Aku bermaksud menarik kembali
tanganku yang sudah lancang menyentuhnya, namun ternyata ia menahannya. Irina
memandangku dengan tatapan matanya yang lembut. Mengusap-ngusapkan tanganku di pipinya.
Aku mengangkat tanganku, mengusap sebelah pipinya lagi. Tatapannya sungguh
sudah menghipnotisku. Detik berikutnya aku sudah mendaratkan bibirku di
bibirnya yang lembut.
Kami
berciuman cukup lama. Rasanya benar-benar memabukkan, membuatku ingin terus
merasakannya lagi dan lagi. Irina merengkuh wajahku dan melepaskan ciuman kami.
ia menatap ke dalam mataku. Ia meraih tanganku yang sedari tadi berada di
lehernya, ia menuntun tanganku untuk menyentuhnya terus ke bawah. Dan malam ini
telah menjadi malam dimana aku benar-benar mabuk akan seorang Irina Wilson.
***
Sinar
matahari begitu menyilaukan ketika aku membuka mataku. kurasakan seseorang bergerak
di dekatku. Ketika kubuka mataku, aku melihatnya. Irina. Dia sudah mengenakan
bajunya kembali. Ia duduk di tepi ranjang di sampingku. Ia menggerakkan
telunjuknya di dadaku yang tidak tertutupi sehelai benang pun.
“bagaimana
semalam?” ia tersenyum manis padaku.
“aku
menikmatinya,” tanganku bergerak mengusap wajahnya. Namun ia tiba-tiba beranjak
menjauh dariku. Kulihat ia mengambil secarik kertas dari atas meja riasnya. Ia menuliskan
sesuatu disana.
Dia
menyerahkan kertas yang ia tulisi tadi padaku. aku membacanya. Ia menuliskan
deretan angka di kertas tersebut.
“berikan
aku sejumlah yang tertulis disana atau karirmu sebagai kepala polisi akan
berakhir dalam sekejap mata,” tidak ada lagi senyuman di wajah Irina. Raut wajahnya
berubah dingin.
“apa
maksudmu?” aku bingung dengan maksud perkataannya.
“kau
pikir aku memberikanmu segalanya itu gratis? Tidak, kau harus membayarnya Tuan
Marcus Lubov. Sejumlah yang aku tulis di kertas itu,” ia tersenyum meremehkan
melihat ekspresi wajahku yang kaget.
“jangan
main-main.” Aku bangun dari posisi tidurku.
“oh,
aku tidak bermain-main. Aku tinggal melaporkan bahwa kau melakukan tindakan
pelecehan padaku. ada pelayanku yang bersedia menjadi saksi bahwa kau memang
melakukan hal tersebut padaku. silakan pikirkan baik-baik, Marcus Lubov,” Irina
tersenyum padaku seraya meninggalkanku di kamar tersebut sendirian. Bukan senyuman
yang lembut lagi seperti semalam atau senyuman yang manis dan ramah ketika aku
pertama kali bertemu dengannya. Namun senyuman licik yang terlukis di wajahnya.
Apa yang dikatakan Aiden benar.
Yang kau ingat hanyalah,
Kau telah mabuk karenanya.
-END-
Omaigat!
Apalah ini? Kenapa saya jadi bikin ff
yang begini jenisnya??? O.o”
Efek
puyeng gara-gara pilek menghasilkan ff aneh begini.
Tapi,
tapi selamat menikmati aja deh,
Jangan
bayangin yang aneh-aneh ya pas bacanya, XD
*bow